My...

Persiapkan hidupmu untuk kehidupan setelah mati

Jumat, 23 Desember 2011

Hikayat Apel Sholehah



“Suatu saat di pagi yang cerah. Angin bertiup tenang. Sinar mentari lembut menerangi alam.Tapi sayang, itu semua tidak dapat meredam kegundahan hati sebuah apel yang berada tinggi nun di pucuk. Sejak seminggu lalu Apel itu sibuk berfikir, kenapa aku tidak dipetik orang? Padahal… kulitku licin mulus. Warnaku merah bersinar. Siapa yang melihat pasti meluap-luap seleranya. Pasti mereka terbayang betapa manisnya rasaku. Tapi... kenapa aku tidak dipetik orang?

Apel tersebut memandang ke bawah. Heran, kenapa manusia lebih memilih kawan-kawannya yang berada di bawah sana. Bukankah mereka tidak mendapat udara yang bersih dan cahaya mentari seperti aku yang berada di puncak ini? Bukankah kawan-kawanku itu banyak yang telah rusak karena seranggga?

Apel tersebut bingung memikirkan kenapa rekan-rekannya yang telah banyak tersentuh dan penuh debu menjadi pilihan, bukan dirinya yang belum tercemar dan dijamah orang. Apa kekurangan diriku?

Perasaan rendah diri mulai merasuk. Makin lama makin kuat, diselangi rasa kecewa dan bimbang. Murungnya tidak terbendung lagi. Lalu, pada pagi yang damai dan indah itu, apel tersebut memutuskan menggugurkan dirinya ke tanah. Ketika sudah berada dibawah, hatinya gembira bukan kepalang. Sedetik lagi aku akan dipilih manusia. Warna merahku yang berkilau dan kulitku yang licin mulus ini pasti mencairkan liur mereka.

Sang apel menanti manusia beruntung itu. Sayang sekali, sampai malam tiba, tiada seorang pun datang mengambilnya. Rasa gembira pun bertukar menjadi risau dan sedih.



Siang berganti malam, hari berganti minggu. Kasihan..akhirnya apel tersebut busuk di tanah menjadi makanan ulat dan serangga. Membusuk dan terinjak-injak manusia.”

Wanita itu ibarat apel. Buah yang tidak berkualitas amat mudah dipetik, dijamah dan diambil orang. Tapi apel yang berkualitas, tidak terjangkau dan sulit dijamah orang. Susah dipetik, susah digapai. Mahkota seorang gadis adalah Keimanan dan ketakwaannya. Apabila hilang iman dan takwanya, hancurlah pesonanya. Wanita sanggup jatuhkan martabat tingginya supaya dijamah orang lain.

Wahai wanita shalehah yang tinggi martabatnya… yang terpelihara kehormatan dan izzahnya...

Bersabarlah! Disaat tak ada yang memetik karena ketinggianmu. Janganlah obral jiwamu hingga kau rela dipetik dan dijamah oleh siapapun. layaknya seperti apel yang mudah dipetik di pinggir jalan. Tungulah, Allah pasti mengirimkan orang yang bersedia memetikmu di ketinggian. Ketinggian yang hanya bisa dipanjat dengan energi keimanan dan ketakwaaan seseorang.

Ya Allah… Kutahu, betapa banyak “perhiasan dunia terindah ini” mulai gundah. Gelisah menantikan seseorang. Sepertiga abad penantian kadang tak cukup mendatangkan satria-satria pemetik apel yang dinantikan. Wahai zat yang menguasai seluruh makhluk, jangan biarkan wanita-wanita mulia ini lelah di ketinggian, hingga ia menjatuhkan diri tersungkur dari kemuliaan. Teguhkan hati mereka. Selamatkan mereka.

Ya Tuhan kami, sesungguhnya mereka sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepada mereka… Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada wanita-wanita shalehah jodoh dan keturunan sebagai penyenang hati. Wallahu a’lamu bishshawab.

(By: Ken Ahmad, Blogger) 

Rabu, 21 Desember 2011



Seberapa Hebatnya Anda?

Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.

Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api.

Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api.


Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.

Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang kau lihat, nak?”"Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras.

Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas. Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?”

Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi ‘kesulitan’ yang sama, melalui proses perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.

Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.

“Kamu termasuk yang mana?,” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?” Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.”

“Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan maka hatimu menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?.”

“Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat.”

Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.


By: Inbox Email

Financial Freedom Ala Tukang Becak Vs Howard Schultz (Starbucks) part 1



THINK OUT OF THE BOX. Perbedaannya akan bagaikan langit dan bumi.
Berapa besar space yang ada "di dalam box" tsb ? Relatif
Berapa besar space yang ada "di luar box" tsb ? WOW! No Limit

Coba kita lupakan segenap teori canggih dunia entrepreneurship (ttg modal usaha, skill, keberanian untuk memulai usaha, dst,dst).
Sementara banyak orang yang masih harus bergelut dalam kesibukan bisnis setiap hari setelah 10 tahun berbisnis, mari kita simak kisah ilustrasi seorang TUKANG BECAK tamatan SD yang sudah mencapai "financial freedom" setelah bekerja hanya lebih kurang 5 tahun saja, dgn "passive income" Rp. 9 juta/bulan !!!

Becak ke-1 :Seorang tukang becak memiliki becak motor dengan penghasilan bersih Rp. 60,000/hari (bekerja dari pagi hingga larut malam). Biaya hidupnya sekitar Rp. 30,000/hari. Lalu ia berjuang utk konsistenmenabung Rp. 30,000/hari. Dalam tempo 400 hari, ia mampu membeli becak kedua yang harganya Rp. 12 juta/unit.

Becak Ke-2 :Ia sewakan becak keduanya dengan tarif Rp. 30,000/hari. Sementara ia tetap menarik becak pertamanya. Sekarang ia bisa menabung Rp. 60,000/hari. Dalam tempo 200 hari, ia mampu membelibecak ketiga.

Becak Ke-3 :Ia sewakan becak ketiganya, sehingga sekarang ia mampu menabung Rp.90,000/hari. Dalam tempo 134 hari, ia membeli becak ke-4.

Becak Ke-4 :Ia sewakan becak tsb, sehingga sekarang ia mampu menabung Rp.120,000/hari. Dalam tempo 100 hari, ia membeli becak baru lagi.

Becak Ke-5 :Ia sewakan becak tsb, sehingga sekarang ia mampu menabung Rp.150,000/hari. Dalam tempo 80 hari, ia membeli becak baru lagi.

Becak Ke-6 :Ia sewakan becak tsb, sehingga sekarang ia mampu menabung Rp.180,000/hari. Dalam tempo 67 hari, ia membeli becak baru lagi.

Becak Ke-7 :Ia sewakan becak tsb, sehingga sekarang ia mampu menabung Rp.210,000/hari. Dalam tempo 57 hari, ia membeli becak baru lagi.

Becak Ke-8 :Ia sewakan becak tsb, sehingga sekarang ia mampu menabung Rp.240,000/hari. Dalam tempo 50 hari, ia membeli becak baru lagi.

Becak Ke-9 :Ia sewakan becak tsb, sehingga sekarang ia mampu menabung Rp.270,000/hari. Dalam tempo 45 hari, ia membeli becak baru lagi.

Becak Ke-10 :Ia sewakan becak tsb, sehingga sekarang ia mampu menabung Rp.300,000/hari. Dalam tempo 40 hari, ia membeli becak baru lagi.

Setelah becak ke-10, ia berhenti menarik becak. Ia sewakan becak pertamanya ke orang lain. Ia lalu menggaji seorang "mandor" untuk mengurusi ke-10 becaknya. Ia PENSIUN. Kini ia menikmati penghasilan Rp. 300,000/hari, atau Rp. 9 juta/bulan (sebelum potong gaji sang mandor). Jika ditotal semua usahanya tsb hanya dicapai dalam tempo 3,2 TAHUN SAJA.

Tentu saja ini cuma sebuah ilustrasi, dengan menarik garis lurus dari sebuah bisnis. Katakanlah dalam tempo 10 tahun (bukan 3,2 tahun seperti dalam ilustrasi), sang TUKANG BECAK mampu mencapainya. Ini LOGIS, dan bisa terjadi.

Berapa banyak TUKANG BECAK di dunia yang seperti itu ? Mungkin 1 banding 10 juta. Tetapi ADA.Berapa banyak TUKANG BECAK di dunia yang menjadi tukang becak seumur hidupnya dan terus hidup susah ? Buanyyaaak sekali.

Sekarang bandingkan dengan banyak profesional tamatan S1 ataupun S2, atau bandingkan dengan para pengusaha yang masih harus bergelut dengan kesibukan mencari nafkah setiap hari. Kontras sekali bukan....

THINK OUT OF THE BOX. Perbedaannya akan bagaikan langit dan bumi.

Kunci kesuksesannya terletak pada "duplikasi". Ini rahasianya : "Jalankan bisnis yang mudah diduplikasikan, dan tidak perlu keterlibatan kita secara penuh dalam bisnis tsb". Cth : ikuti bisnis franchise yang berpotensi, beli asset lalu sewakan asset tsb, dst.

KUNCI UTAMA LAINNYA adalah : Hidup hemat pada awalnya untuk menabung, uang tabungan di-investasikan untuk menghasilkan uang, lakukan terus berulang2, setelah penghasilannya sudah cukup besar, barulah hidup bersenang2.

Mari berhitung matematika .

Jika Anda diberikan 2 option kontrak kerja / kontrak bisnis berikut ini, mana yang Anda pilih ?1). Kontrak 2 tahun, tidak dpt dibatalkan, penghasilan/bulan Rp. 100 juta.
2). Kontrak 2 tahun, tidak dpt dibatalkan, penghasilan di bulan pertama cuma Rp. 1000, tapi berlipat dua setiap bulan.

Pilih mana ?
Jawabannya :

Option I : Penghasilan Rp. 100 juta/bln x 24 bln = Rp. 2,4 Milyar

Option II :Bulan ke-1 : Rp. 1000
2. 2000
3.4000
4. 8000
5. 16,000
6. 32,000
7. 64,000
8. 128,000
9. 256,000
10. 512,000
11. 1024,000
12. 2 juta
13. 4 juta
14. 8 juta
15. 16 juta
16. 32 juta
17. 64 juta
18. 128 juta
19. 256 juta
20. 512 juta
21. 1 milyar
22. 2 milyar
23. 4 milyar
24. 8 milyar

Jika Anda pilih option I, Anda kecolongan hampir 6 MILYAR !

Kita hanya diajari oleh guru di sekolah tentang teori2 Albert Eintein spt rumus kekuatan bom atom spt "E=MC2", dst. Tetapi tidak diajarkan bahwa "kekuatan duplikasi" juga dikagumi oleh Albert Eintein, ilmuwan paling cemerlang abad 20, ia mengatakan "Kekuatan duplikasi adalah keajaiban dunia ke delapan".

by Sumber : Felix Jordan
From: Inbox Email

Selasa, 20 Desember 2011

Cerita Petani



Alkisah jaman dahulu kala ada seorang petani miskin yang hidup dengan seorang putera nya. Mereka hanya memiliki seekor kuda kurus yang sehari-hari membantu mereka menggarap ladang mereka yang tidak seberapa. Pada suatu hari, kuda pak tani satu2 nya tersebut menghilang, lari begitu saja dari kandang menuju hutan.

Orang-orang di kampung yang mendengar berita itu berkata: "Wahai Pak tani, sungguh malang nasibmu!".

Pak tani hanya menjawab, "Malang atau beruntung? Aku tidak tahu …"

Keesokan hari nya, ternyata kuda pak Tani kembali ke kandangnya, dengan membawa 100 kuda liar dari hutan. Segera ladang pak Tani yang tidak seberapa luas dipenuhi oleh 100 ekor kuda jantan yang gagah perkasa. Orang2 dari kampung berbondong datang dan segera mengerumuni "koleksi" kuda2 yang berharga mahal tersebut dengan kagum. Pedagang2 kuda segera menawar kuda2 tersebut dengan harga tinggi, untuk dijinakkan dan dijual. Pak Tani pun menerima uang dalam jumlah banyak, dan hanya menyisakan 1 kuda liar untuk berkebun membantu kuda tua nya.

Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu berkata: "Wahai Pak tani, sungguh beruntung nasibmu!".

Pak tani hanya menjawab, "Malang atau beruntung? Aku tidak tahu …"

Keesokan hari nya, anak pak Tani pun dengan penuh semangat berusaha menjinakan kuda baru nya. Namun, ternyata kuda tersebut terlalu kuat, sehingga pemuda itu jatuh dan patah kaki nya.

Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu berkata: "Wahai Pak tani, sungguh malang nasibmu!".

Pak tani hanya menjawab, "Malang atau beruntung? Aku tidak tahu …"

Pemuda itupun terbaring dengan kaki terbalut untuk menyembuhkan patah kaki nya. Perlu waktu lama hingga tulang nya yang patah akan baik kembali. Keesokan hari nya, datanglah Panglima Perang Raja ke desa itu. Dan memerintahkan seluruh pemuda untuk bergabung menjadi pasukan raja untuk bertempur melawan musuh di tempat yang jauh. Seluruh pemuda pun wajib bergabung, kecuali yang sakit dan cacat. Anak pak Tani pun tidak harus berperang karena dia cacat.

Orang-orang di kampung berurai air mata melepas putra-putra nya bertempur, dan berkata: "Wahai Pak tani, sungguh beruntung nasibmu!".

Pak tani hanya menjawab, "Malang atau beruntung? Aku tidak tahu …"

Kisah di atas, mengungkapkan suatu sikap yang sering disebut: non-judgement. Sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan untuk memahami rangkaian kejadian yang diskenariokan Sang Maha Sutradara. Apa2 yang kita sebut hari ini sebagai "kesialan", barangkali di masa depan baru ketahuan adalah jalan menuju "keberuntungan" . Maka orang2 seperti Pak Tani di atas, berhenti untuk "menghakimi" kejadian dengan label2 "beruntung", "sial", dan sebagainya.

Karena, siapalah kita ini menghakimi kejadian yang kita sunguh tidak tahu bagaimana hasil akhirnya nanti. Seorang karyawan yang dipecat perusahaan nya, bisa jadi bukan suatu "kesialan", manakala ternyata status job-less nya telah memecut dan membuka jalan bagi diri nya untuk menjadi boss besar di perusahaan lain.

Maka berhentilah menghakimi apa –apa yang terjadi hari ini, kejadian –kejadian PHK , Paket Hengkang , Mutasi tugas dan apapun namanya . . . .yang selama ini kita sebut dengan "kesialan" , "musibah " dll , karena .. sungguh kita tidak tahu apa yang terjadi kemudian dibalik peristiwa itu (di).

"Hadapi badai kehidupan sebesar apapun. Tuhan takkan lupa akan kemampuan kita. Kapal hebat diciptakan bukan untuk dilabuhkan di dermaga saja."

Sumber: anynomous
From: Inbox Email

Senin, 12 Desember 2011

"KISAH POHON APEL"



Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.

Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya.

Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu.

Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu.

Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.

Suatu hari ia mendatangi pohon apel.

Wajahnya tampak sedih.

"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.

"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu.

"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."

Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita.

Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi.

Pohon apel sangat senang melihatnya datang.

"Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel.

"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu.

"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?"

"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel.

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.

Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi.

Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi.

Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.

"Ayo bermain-main lagi deganku," kata pohon apel.

"Aku sedih," kata anak lelaki itu.

"Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"

"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah."

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya.

Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.

"Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."

"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,"jawab anak lelaki itu.

"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel.

"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu.

"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu.

Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki.

"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."

"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.

Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.


Ini adalah cerita tentang kita semua.
Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita.
Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika
kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.

Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.

Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.


Sumber : Motivasi Net
By: inbox email

" Kisah 3 Kaleng Coke"



Ada 3 kaleng coke. Ketiga kaleng tersebut diproduksi di pabrik yang sama di sebuah daerah Jawa Timur. Ketika tiba harinya (untuk didistribusikan), sebuah truk datang ke pabrik, mengangkut kaleng-kaleng coke tersebut dan menuju ke tempat yang berbeda untuk dijual.

Pemberhentian pertama adalah sebuah mini market lokal. Kaleng pertama diturunkan di sini. Lalu, dipajang di rak bersama dengan kaleng minuman ringan lainnya. Ia diberi harga Rp.4.000


Pemberhentian kedua adalah sebuh pusat perbelanjaan besar. Di sana, kaleng kedua diturunkan. Kaleng tersebut ditempatkan di dalam kulkas supaya dingin dan dijual dengan harga Rp.7.500

Pemberhentian terakhir adalah hotel bintang 5 yang sangat mewah. Kaleng ketiga diturunkan di sana. Tapi, ia tidak ditempatkan di rak atau di dalam kulkas. Ia disimpan baik-baik, dan hanya akan dikeluarkan jika ada pesanan dari pelanggan. Dan ketika ada yang memesan, kaleng ini dikeluarkan bersama dengan gelas kristal berisi batu es. Kemudian, ia disajikan dengan rapi di atas baki. Pelayan hotel akan membuka kaleng coke itu, menuangkannya ke dalam gelas, dan dengan sopan menyajikannya ke pelanggan. Harganya Rp 40.000

Sekarang, pertanyaannya adalah: "Mengapa ketiga kaleng minuman ringan tersebut memiliki harga yang berbeda padahal diproduksi dari pabrik yang sama, diantar dengan truk yang sama dan bahkan mereka memiliki rasa yang sama?"

Lingkungan kita mencerminkan harga kita. Lingkungan berbicara tentangRELATIONSHIP. Apabila kita berada di lingkungan yang bisa mengeluarkan potensi/hal terbaik dari diri kita, maka kita akan menjadi cemerlang. Tapi bila kita berada di lingkungan yang mengerdilkan diri kita, maka kita juga akan menjadi kerdil.

Orang yang sama, bakat yang sama, kemampuan yang sama + lingkungan yang berbeda = NILAI YANG BERBEDA!

**

Catatan:
Lingkungan memang sangat berpengaruh dalam menbentuk pribadi seseorang. Jika kita "terjebak"/berada di lingkungan yg tidak kondusif, jangan mengeluh! Tetap semangat, dan berusaha menjadi diri sendiri untuk memacu potensi terbaik yang ada dalam diri kita. Salam sukses LUAR BIASA!!

Penulis : Tim AndrieWongso.com
By: inbox email

"Roti Gosong"



Ketika aku masih anak perempuan kecil, Ibu suka membuat sarapan dan makan malam.

Dan suatu malam, setelah ibu sudah membuat sarapan, bekerja keras sepanjang hari, malamnya menghidangkan sebuah piring berisi telur, saus dan roti panggang yang gosong di depan meja ayah.

Saya ingat, saat itu menunggu apa reaksi dari orang-orang di situ!

Akan tetapi, yang dilakukan ayah adalah mengambil roti panggang itu, tersenyum pada ibu, dan menanyakan kegiatan saya di sekolah.

Saya tidak ingat apa yang dikatakan ayah malam itu, tetapi saya melihatnya mengoleskan mentega dan selai pada roti panggang itu dan menikmati setiap gigitannya!

Ketika saya beranjak dari meja makan malam itu, saya mendengar ibu meminta maaf pada ayah karena roti panggang yang gosong itu.

Dan satu hal yang tidak pernah saya lupakan adalah apa yang ayah katakan: "Sayang, aku suka roti panggang yang gosong."

Sebelum tidur, saya pergi untuk memberikan ciuman selamat tidur pada ayah.

Saya bertanya apakah ayah benar-benar menyukai roti panggang gosong.

Ayah memeluk saya erat dengan kedua lengannya yang kekar dan berkata,

"Debbie, ibumu sudah bekerja keras sepanjang hari ini dan dia benar-benar lelah. Jadi sepotong roti panggang yang gosong tidak akan menyakiti siapa pun!"

Apa yang saya pelajari di tahun-tahun berikutnya adalah belajar untuk menerima kesalahan orang lain, dan memilih untuk merayakan perbedaannya - adalah satu kunci yang sangat penting untuk menciptakan sebuah hubungan yang sehat, bertumbuh dan abadi.

Sumber: Anonymous
By: inbox email

Pengemis dan Nasi Bungkus



Ada sebuah kisah menarik tentang tiga orang pengemis yang sedang tiduran di emperan sebuah toko. Karena hari begitu malam dan disertai hujan yang sangat lebat. Membuat mata mereka begitu mengantuk. Akhirnya mereka tertidur lelap. Esok hari ketika mereka bangun. Mereka dikejutkan karena disamping mereka sudah ada tiga bungkus nasi yang masih hangat. Entah siapa yang meletakkan nasi tersebut. Yang penting bagi mereka itu adalah karunia dari tuhan. Pengemis pertama merasa senang luar biasa. Dan tanpa basa basi. Dia langsung menyantap hidangan pagi itu. Ketika perut sudah kenyang. Dia pun kembali lagi tidur. Pengemis kedua merasa senang juga. Tapi dia terus bertanya dalam hati siapakah yang bermurah hati mau memberi mereka rejeki di pagi hari ini. Dia pun melihati nasi tersebut. Isinya pun sederhana sekali. Hanya satu butir telur dan sedikit sayuran. Dan dia bertanya dalam hati, kok bukan ayam. Memberikan rejeki kok tanggung-tanggung. Sambil terus bertanya dia pun menghabiskan nasi tersebut.

Lain halnya dengan pengemis ketiga. Dia memang senang tapi ditahannya terlebih dahulu. Sambil mengambil posisi berdoa, dia pun mengucap syukur kepada Tuhan. Karena sudah diberi sebuah karunia di pagi hari ini. Dan dia mendoakan semoga yang memberikan nasi ini diberikan rejeki yang berlebih. Terakhir barulah dia makan nasi terebut dengan lahap.

Bila anda disuruh memilih, dari ketiga pengemis tersebut mana yang paling anda sukain? Pasti jawaban anda adalah pengemis ketiga. Cerita diatas mengajarkan kita bagaimana kita perlu bersyukur pada saat menerima pemberian orang. Saat si pengemis ketiga, menerima bahwa nasi tersebut adalah rejeki bagi dia.

Maka hal yang pertama dia lakukan adalah BERSYUKUR Lalu dia pun berdoa. Semoga yang memberikan rejeki bagi dia, dilipat gandakan rejekinya. Dan terakhir baru dia bisa menikmati rejekinya. Menurut orang bijak, yang membuat kita banyak tenggelam dalam derita adalah, kurang terampilnya kita mensykuri nikmat.

Langkah bersyukur ini menjadi kunci pokok, bila kita mau mengaktifkan attractor faktor kita. Marilah kita nikmati karunia Tuhan dengan penuh kesyukuran. Selain akan menjadi amal, karunia tersebut akan mewarnai hidup kita dengan penuh kenikmatan dan kesyukuran. Setiap susah senang yang kita dapati, harus membuat kita lebih fokus lagi kepada Tuhan, bukan malah menjauhinya.

Daniel Kurniawan
[Mind Educator]
By: inbox email

CINTA LAKI-LAKI BIASA (True Story)



Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania.

Mereka ternyata sama herannya. Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan. Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu. Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana . Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka. Kamu pasti bercanda! Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania! Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya. Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik! Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan. Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan ? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh? Nania terkesima. Kenapa? Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa.

Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau! Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan. Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah. Tapi kenapa? Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya. Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania! Cukup! Nania menjadi marah.

Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini? Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia. Mereka akhirnya menikah.

Setahun pernikahan. Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka. Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania.

Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania. Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya. Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses! Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli. Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen. Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak! Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan ? Rafli juga pintar! Tidak sepintarmu, Nania. Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma. Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu. Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang. Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.. Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah. Inilah hidup yang diimpikan banyak orang.

Bahagia! Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting. Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak! Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra.

Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama. Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik ya? dan kaya! Tak imbang! Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari. Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya. Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan! Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang. Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali. Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan. Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset. Masih pembukaan dua, Pak! Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya. Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan. Dokter? Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar. Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal. Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri. Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat. Pendarahan hebat! Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka. Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker. Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang. Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli. Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah.

Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan. Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.. Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya. Nania, bangun, Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik, Nania, bangun, Cinta? Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli. Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh. Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi. Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta. Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh? Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia.

Setidaknya di mata Rafli. Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun. Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat. Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik. Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua! Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya. Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam! Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa? Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi? Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya. Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.


Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

Sumber : Anonymous
By: inbox email

"Siapa Yang Lebih Bodoh? "



Ketika seorang pengusaha sedang memotong rambutnya pd tukang cukur yg berdomisili tak jauh dari kantornya, mereka melihat ada seorang anak kecil berlari-lari & melompat-lompat di depan mereka.

Tukang cukur berkata, “Itu Bejo, dia anak paling bodoh di dunia”

Pengusaha : “Apa iya?”

Lalu tukang cukur memanggil si Bejo, ia lalu merogoh kantongnya & mengeluarkan lembaran uang Rp 1000 & Rp 500, lalu menyuruh Bejo memilih,


Tukang cukur : “Bejo, kamu boleh pilih & ambil salah satu uang ini, terserah kamu mau pilih yg mana, ayo nih!”

Bejo melihat ke tangan Tukang cukur dimana ada uang Rp 1000 & Rp 500, lalu dgn cepat tangannya bergerak mengambil uang Rp 500.

Tukang cukur dgn perasaan benar & menang lalu berbalik kpd sang pengusaha & berkata,
“Benar kan yg saya katakan tadi, Bejo itu memang anak terbodoh yg pernah saya temui.”Sudah tak terhitung brp kali saya lakukan tes spt itu tadi dan ia selalu mengambil uang logam yg nilainya paling kecil”

Setelah sang pengusaha sudah selesai memotong rambutnya, di tengah perjalanan pulang dia bertemu dgn Bejo.

Karena merasa penasaran dgn apa yang dia lihat sebelumnya, dia pun memanggil Bejo lalu bertanya,

“Bejo, tadi saya melht sewaktu tukang cukur menawarkan uang lembaran Rp 1000 & Rp 500, saya lihat kok yg kamu ambil uang yg Rp 500, kenapa tak ambil yg Rp 1000, nilainya kan lebih besar 2x lipat dari yg Rp 500?”

Bejo pun berkata, “Saya tdk akan dpt lagi Rp 500 setiap hari. Krn tukang cukur itu selalu penasaran. Knp saya tdk ambil yg seribu Rp. Kalau saya ambil yg Rp 1000, berarti permainannya akan selesai…”

Banyak orang yg merasa lebih pintar dibandingkan orang lain, shg mereka sering menganggap remeh orang lain.

Ukuran kepintaran seseorang hanya TUHAN yg mengetahuinya. Alangkah bijaksananya kita jika tidak menganggap diri sendiri lebih pintar dari orang lain


Sumber : Anonymous
By: inbox email

"Cinta Suamiku"



Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.


Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjaku kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang sudah kita miliki.


Penulis: Anggia Krisnina
anggiakrisnina@yahoo.com
By: inbox email

"Kenapa orang yang Idiot kaya, saya tidak? [bag.2]

Profesor dan nelayan


Suatu minggu, seorang profesor pergi untuk melakukan penelitian di sebuah pedalaman. Sulitnya medan perjalanan memaksa profesor ini untuk menempuh jalur lain yaitu sebuah sungai. Tanpa berpikir panjang sang profesor segera mencari seorang nelayan untuk menyeberangi sungai tersebut.

Selama perjalanan di atas kapal sang profesor bertanya kepada sang nelayan, “Apakah Bapak pernah belajar biologi?” Dengan polos sang nelayan menjawab, “Apa itu biologi? Makanan ikan ya?” Dengan nada menggurui sang profesor menjawab, “Masak Anda tidak tahu apa itu biologi? Itu artinya Anda sudah kehilangan 20 persen dari bagian hidup Anda!” Beberapa menit kemudian sang profesor kembali bertanya, “Apakah Bapak tahu apa itu fisika?” Dengan nada minder sang nelayan menjawab, “Yang pasti bukan makanan ikan kan?” Dengan nada yang meremehkan sang profesor menjawab, “Ck ck ck…, Anda sama saja sudah kehilangan 50 persen dari bagian hidup Anda!” Selang beberapa waktu sang professor kembali bertanya, “Kalau Anda tidak tahu apa itu biologi dan fisika, tentu Anda tahu tentang geografi, bukan?” Sang nelayan menjawab, “Saya memang idiot, saya pun tidak tahu apa itu geografi.” Dengan tertawa terbahak-bahak sang professor berkata, “Anda betul-betul kehilangan 80 persen dari bagian hidup Anda!”

Sesaat sebelum sang professor memberikan pertanyaan keempat, arus sungai mendadak berubah menjadi deras. Derasnya arus membuat kapal bergoyang dengan sangat keras. Sang professor tidak dapat menguasai keseimbangan dan terjatuh ke dalam sungai. Dengan panic sang professor berteriak, “LONTONG! Eh TOLOOONNGG!” Dalam keadaan panic sang nelayan bertanya, “Anda tidak bisa berenang?” Dalam keadaan timbul tenggelam sang professor menjawab, “Saya tidak bisa berenang!!” Dengan berani nelayan menjawab, “Kalau begitu Anda sudah kehilangan 100 persen dari bagian hidup Anda!”

Cerita ini mungkin hanyalah cerita fiksi belaka, namun inilah yang sering kali terjadi dalam kehidupan nyata. Seorang yang sangat pintar belum tentu bisa menggunakan pengetahuannya untuk bertahan hidup. Pengetahuan adalah kekuatan sampai Anda menggunakannya.

“KNOWLEDGE IS NOTHING, APPLYING WHAT YOU KNOW IS EVERYTHING.”


Reuni SMA

Juara 1 lomba lari marathon, mendapatkan nilai 9 pada mata pelajaran Olahraga, mendapatkan nilai 8 pada mata pelajaran Agama, itulah “sebagian” dari prestasi saya. Orang-orang kagum melihat “sebagian” dari prestasi yang saya miliki. Tapi itu hanya sebagian, sisanya? Nilai 4 untuk mata pelajaran Matematika, nilai 4 untuk mata pelajaran Kimia, nilai 5 untuk mata pelajaran Sejarah, dan nilai 5 untuk mata pelajaran Komputer. Bagi anda yang memiliki nasib yang serupa dengan saya, tenang saja karena ini barulah permulaan!

Saya tidak sendirian dalam persaingan memperebutkan nilai terburuk di sekolah, ada sekitar 5 teman yang tidak kalah idiotnya dibanding saya. Mereka lebih senang bermain dibandingkan belajar. Suatu ketika seorang guru Fisika memarahi salah satu teman idiot saya dan berkata, “Kalau otak dan kepalamu bisa dibuka, pasti isinya kosong!” Saya dan teman idiot saya tidak akan pernah bisa melupakan kata-kata itu.

Seiring berjalannya waktu, kamipun beranjak dewasa dan memiliki kesibukan masing-masing. Setelah cukup lama tidak bertemu dengan teman-teman SMA, kami dipertemukan kembali dalam sebuah reuni. Dari reuni inilah saya melihat sebuah kenyataan yang sangat ironis. Teman-teman idiot saya telah berubah menjadi orang yang sangat sukses. Mereka memiliki bisnis sendiri dan penghasilan yang besar. Teman idiot saya juga telah membeli sebuah rumah dan mobil pribadi di usia 20 tahun. Sebaliknya beberapa teman saya yang terbilang cukup pintar dan berprestasi, mereka lebih memilih rasa aman dan menggantungkan masa depan mereka sebagai karyawan. Mereka tidak lebih sukses dibanding dengan teman idiot saya. Mungkin Anda bertanya “Kenapa orang yang idiot kaya, sementara saya tidak?” Teruslah membaca!

Sumber : Dari buku UNLIMITED WEALTH by BONG CHANDRA
By: inbox email

Kenapa orang yang Idiot kaya, saya tidak? [bag.1]



“Orang pintar membuat sesuatu yang sederhana menjadi rumit, orang idiot membuat sesuatu yang rumit menjadi sederhana.”

Gitu aja kok repot!

Kalimat ini sering terlontar oleh salah satu mantan presiden kita. Awalnya saya mengira kalimat ini tidak memiliki makna apa pun. Tapi coba simak dulu cerita berikut ini:

Sebuah perusahaan sabun ternama sedang melakukan rapat evaluasi tahunan. Dalam rapat ini, semua karyawan baik dari jabatan tertinggi sampai seorang satpam boleh mengajukan ide dalam rapat ini. Kasus yang diangkat dalam rapat kali ini adalah mengenai komplain yang dilakukan oleh kebanyakan konsumen. Salah satu masalah yang seriang dialami konsumen adalah sering didapati kotak sabun yang tidak ada isinya atau kosong. Banyak konsumen yang merasa tertipu saat membeli sabun dalam jumlah banyak. Dari 10 kotak sabun, paling tidak ada 1 kotak sabun yang ternyata kosong. Kesalahan ini merupakan kesalahan yang tidak dapat dihindari, terutama karena mesin produksi sabun yang sudah kuno.

Rapat segera dimulai. Pemimpin perusahaan sabun tersebut melemparkan masalah ini ke dalam rapat dan meminta masukan dari setiap karyawan. Siapa saja yang dapat memberikan solusi untuk mengatasi masalah ini akan mendapatkan kenaikan gaji sampai 3 kali lipat. Anda pun boleh ikut berpikir dan memberikan solusi. Seorang supervisor mengacungkan tangannya dan berkata, “Saya punya solusinya! Kita harus membeli mesin baru dari Jepang seharga Rp 10 milyar!” Melihat harga mesin yang begitu mahal, seorang manajer segera mengacungkan tangan dan berkata, “Saya punya solusi yang lebih baik! Kita bisa membeli mesin baru yang lebih murah dari Jerman seharga Rp 1 milyar!” Melihat harga yang begitu mahal, seorang direktur juga mengacungkan tangannya dan berkata, “Bagaimana kalau kita beli mesin bajakan dari China saja seharga Rp 100juta!” Melihat harga yang sangat murah, sang pemimpin perusahaan menyetujui solusi untuk membeli mesin dari China.

Tidak lama setelah keputusan rapat diambil, seorang office boy memberanikan diri untuk mengacungkan tangannya. “Saya punya solusi yang lebih baik! Bagaimana kalau kita membeli mesin dari Indonesia seharga Rp 250rb!” teriak Office Boy dengan lantang. Mendengar pernyataan konyol dari Office Boy ini, seluruh peserta rapat seketika tertawa terbahak-bahak. Namun pemimpin perusahaan mencoba untuk memberinya kesempatan dengan memberikan sejumlah uang tunai sebesar Rp 250rb.

Dua jam kemudian sang Office Boy kembali dengan membawa mesin yang ia beli dengan harga Rp 200rb (lebih murah Rp50rb dari yang dijanjikan). Dengan langkah mantap ia segera memasang mesin yang ia beli di depan kumpulan kotak sabun. Hasilnya luar biasa! Dengan mesin baru ini, semua kotak dipastikan terisi oleh sabun. Seluruh peserta rapat tercengang ketika melihat mesin yang dibeli oleh Office Boy ini adalah KIPAS ANGIN. Dengan kipas angin ini, semua kotak sabun yang kosong akan terbang ditiup angin dan menyisakan kotak sabun yang sudah terisi. Dengan alat sederhana ini, tidak ada lagi komplain mengenai kotak sabun yang kosong. Dengan hasil ini, Office Boy dengan lantang dan percaya diri berkata, “Gitu aja kok repot!”

“Orang pintar membuat sesuatu yang sederhana menjadi rumit, orang idiot membuat sesuatu yang rumit menjadi sederhana.” Terkadang kepintaran yang kita miliki membuat kita berpikir terlalu kompleks. Kesederhanaan dalam berpikir sering kali membuat orang idiot lebih sering menangkap peluang dibanding dengan orang pintar. Saya tidak mengajak Anda untuk menjadi orang idiot, saya ingin mengajak Anda untuk memiliki sebuah kebiasaan baru. Apa pun masalah yang akan Anda hadapi di masa yang akan datang, berpikirlah sederhana dan katakan dengan lantang, “Gitu aja kok repot!”

Sumber : Dari buku UNLIMITED WEALTH by BONG CHANDRA
By: inbox email